keromantisan yang ikhlas.

august 15, 2011. 5.39 am

yang berakhir bukan berarti halangan untuk memulai. kata mario teguh semalam, dengan ikhlas: bernyanyilah seperti tidak ada orang yang mendengar, menarilah seperti tidak ada orang yang melihat, mencintailah seperti tidak akan ada yang terluka. itu yang dia sebut, hati berlogika ikhlas.

everything ends, but it doesnt mean we cannot enjoy something in between.

akan banyak 'something in between,' sebelum itu berakhir, nikmatilah sampai tetes terakhir :)


oleh aichiro suryo prabowo: kereta kabungah.

Saat ini saya tengah berada di Stasiun Depok Lama, menantikan KRL jurusan Tanah Abang yang katanya, akan datang setengah jam lagi. Bisa dibilang, situasinya tergolong lengang, tidak seramai biasanya di hari-hari kerja. Tidak ada penjaja gorengan lima ratusan, penjual koran seribuan, atau pembajak CD lima ribuan. Beginilah akhir pekan di Jabodetabek, sepi dari ambisi. Ambisi juga butuh istirahat.

Tak jauh di sebelah saya, duduk seorang bapak bersama putranya. Beliau tidak menjinjing tas. Pakaiannya juga terlihat santai, kaos oblong putih, tak menandakan kalau dirinya akan keluar “malam mingguan”. Putranya justru terkesan lebih siap tempur dengan mini-jersey tim nasional Indonesia, menunjuki apapun yang ia cermati, dan meneriaki apapun yang ia tunjuki.

Beberapa saat berlalu. Tanpa pemberitahuan awal, satu rangkaian gerbong KRL tiba di depan kami, mendesis, berhenti, lalu membukakan pintu-pintunya. KRL tujuan Jakarta Kota tersedia di jalur satu, bla, bla, bla! Petugas baru mengumumkannya lewat pengeras suara. Saya diam saja, sebab memang bukan ini kereta saya. Bapak di sebelah juga tidak bergerak. Beliau malah memangku putranya yang semakin agresif menunjuk-teriaki kereta tersebut. Sampai akhirnya suara peluit nyaring melengking, menandakan masinis akan segera melanjutkan perjalanannya. Begitu diyakinkan aman, pintu-pintu menutup, rangkaian gerbong beranjak, stasiun pun lengang kembali.

Hanya ada dua jurusan kereta yang bisa diambil dari jalur 1: Tanah Abang atau Jakarta Kota. Maka mudah saja sebetulnya menebak ke arah mana penumpang akan bepergian. Kalau bukan ke Jakarta Kota ya, berarti ke Tanah Abang, begitu juga sebaliknya. Pertimbangan itu yang lantas mendorong saya untuk bertanya sekaligus memulai obrolan kecil dengan sang bapak, Bapak mau ke Tanah Abang juga, ya?

Henteu, Jang, jawabnya dengan bahasa Sunda yang kental.

Saya kembali bertanya, Oh, saya kira sama dengan saya, Pak. Berarti ke Jakarta Kota, nggak naik yang barusan lewat?

Jawabnya lagi, Abdi mah moal kamamana, Jang, mung nganter pun anak, resepeun ningali kareta. Saya yang tidak fasih berbahasa Sunda hanya sanggup manggut-manggut memerhatikannya. Tapi kalau boleh menebak, artinya kurang lebih, Saya tidak kemana-mana, di sini hanya mengantarkan anak saya, dia suka sekali melihat kereta. Menurut saya itu romantis.

Tak lama, KRL tujuan Tanah Abang datang, dan mereka tetap duduk. Saya pun berpamitan di sela keduanya sedang kabungah menikmati lalu lalang kareta sore ini. Dari dalam gerbong, kemesraannya masih sempat terlihat selama beberapa detik. Pemandangan itu lalu hilang bersamaan dengan beranjaknya commuter line menuju stasiun berikutnya.

Walau hanya sebentar, obrolan kecil tadi cukup berkesan bagi saya. Walau hanya beberapa kalimat, ucapan bapak tadi juga berhasil membuat saya tersadar, kemudian berpikir lebih jauh di sepanjang perjalanan. Tentang rasa senang, tentang bagaimana seseorang memperoleh kesenangannya dari sesuatu.

Ada orang yang mungkin baru senang setelah dapat membeli, katakanlah, sebuah kereta. Raja minyak dari Rusia, mungkin? Ada orang yang seperti saya, senang saat mampu menikmati jasa dan membeli tiketnya dengan harga terjangkau. Namun ada juga orang yang ternyata senang cukup dengan memandanginya dari jauh, bapak dan anak di stasiun tadi, contohnya. Tentu tidak hanya kereta. Masih ada lagi sesuatu-sesuatu lain yang mungkin berwujud, bernyawa, berharga, atau malah tidak  ketiganya, yang saya percaya juga sama saja.

Tahta, ada yang senang dengan menjaga aman kursinya, ada yang lebih senang dengan menjaga baik amanahnya. Wanita, ada yang senang dengan meminangnya sepenuh hati, ada yang senang sekedar dengannya bersenang-senang tanpa hati. Harta, ada yang senang dengan mengumpulkannya sebanyak mungkin, ada juga yang senang justru dengan membagikannya sesering mungkin. Yang pasti satu, bahwa pada akhirnya yang dicari setiap orang dalam hidup tetaplah rasa senang. Bentuknya? Bisa jadi bermacam-macam, tidak selalu sama… dan tidak harus sama.




Terinspirasi oleh seorang bapak dan putranya, nu gaduh kabungah di tengah keterbatasan.

ini keromantisan yang ikhlas. 

No comments:

Post a Comment